![]() |
Foto: Penulis Izul Islamudin |
Nusa
Tenggara Barat tidaklah hadir begitu saja dengan sendirinya. Munculnya nama
Nusa Tenggara Barat yang menjadi bagian dari salah satu Provinsi Indonesia memiliki
histori tersendiri yang harus dipelajari seksama oleh masyarakat lokal atau
lebih khusus generasi-generasi yang kemudian menjadi tongkat estafet dalam
pembangunan NTB ke depannya. Berbicara soal historis tentu harus berdasarkan
pada sumber yang benar-benar dipercaya akan kebenarannya. Dalam (baver007.com/provinsi-nusa-tenggara-barat/) menjelaskan “Pada
awal kemerdekaan Indonesia, wilayah ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sunda
Kecil yang beribukota di Singaraja. Kemudia, wilayah Provinsi Sunda Kecil
dibagi menjadi tiga Provinsi yaitu: Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa
Tenggara Timur”.
Sehingga,
saat ini nama “Nusa Tenggara” digunakan untuk menamakan dua Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara
Timur (NTT). Nusa Tenggara Barat memiliki dua wilayah kekuasaan yang sangat
besar, yaitu pulau Lombok yang ada di sebelah Barat, dan pulau Sumbawa yang
terletak di sebelah Timur. Pulau Lombok menjadi sentral pusat Pemerintahan
Provinsi yang tepatnya di Kota Mataram. Nusa Tenggara Barat merupakan Provinsi
yang tentu memiliki kearifan lokal (local
wisdom) yang berbeda dengan Provinsi-Provinsi yang lain. Hal ini menjadi
pekerjaan yang tidak hanya dikerjakan oleh pihak-pihak tertentu, melainkan
harus dikerjakan secara kolektif sehingga konsekuensi logisnya berdampak pada keharmonisan serta dapat menjaga kearifan
lokal agar tetap lestari.
Terlepas
dari hal itu, tentu proses pembangunan sarana prasarana serta meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) harus tetap dilakukan agar lahirnya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, dari proses itu tentu ada
beberapa hal yang menjadi permasalah yang fundamental yaitu mulai dari
kasus-kasus demonstrasi yang dilakukan oleh Mahasiswa maupun Pemuda dalam menuntut
apa yang menjadi haknya, serta terjadinya degradasi moral generasi-generasi
hari ini. Rentetan kasus ini merupakan sebagian dari kasus-kasus yang lainnya.
Hal
diatas menjadi prolog dalam memberikan narasi-narasi dalam mengupas
persoalan-persoalan yang terjadi di Nusa Tenggara Barat “korupsi”. Berbicara
korupsi tidaklah asing lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena hal
itu sudah menjadi kata yang identik serta sudah terejahwantahkan dalam
perbuatan orang-orang tertentu. Hal ini menjadi virus yang sangat ganas,
sehingga perlu dimusnahkan dari akar-akarnya. Tidaklah mudah dalam mengupas hal
itu, tentu membutuhkan pisau yang tajam sebagai alat bedah serta teori-teori
yang relevan sebagai pijakan. Akan tetapi, hal itu bisa dijawab oleh
masing-masing orang sesuai dengan persepsinya, sesuai dengan kacamata
masing-masing yang berlandaskan dengan empiris di wilayah-wilayah tertentu.
Jika hal itu memang benar adanya, apakah virus itu harus dibiarkan tanpa adanya
upaya preventif? Tentu saja tidak, karena hal itu akan memberikan dampak
negatif.
Era
revolusi industri 4.0 merupakan era yang sudah serba digital, baik itu akan
mempengaruhi aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Aktivitas itu adalah
politik, sosial, ekonomi, kultural, agama, pendidikan dll. Kecanggihan tekhnologi informasi telah
menciptakan sebuah ruang baru yang bersifat artifisial dan maya atau
cyberspace” (Yasraf Amir Piliang). Hal itu tentu harus disikapi dengan
meningkatkan kualitas SDM yang ada di Nusa Tenggara Barat lewat jalur
pendidikan yang formal ataupun nonformal. Salah satu pendidikan yang dimaksud
adalah pendidikan anti korupsi sejak dini. Pendidikan disini bukan hanya
transfer of knowledge tapi bagaimana dalam membentuk karakter serta penanaman
nilai-nilai moral. H.A.R. Tilaar menambahkan pendidikan tidak hanya menciptakan
manusia yang pintar, tetapi juga berbudaya.
Sehingga
perlu kemudian pendidikan anti korupsi sejak dini menjadi sentral dalam upaya
preventif terjadinya korupsi baik secara sistematis, terstruktur dan masif. Pendidikan
anti korupsi sejak dini harus pula menjadi slogan yang harus dipahami secara
tekstual serta diejahwantahkan secara kontekstual. Nilai-nilai yang termuat
dalam pendidikan anti korupsi harus menjadi suntikan serta suplemen dalam
menghadapi kekacauan, keacakan (cheos) yang terjadi. Rantai korupsi yang
sistematis, terstruktur serta masif harus diputus lewat pendidikan anti korupsi
sejak dini serta dilanjutkan dengan pendidikan pada jenjang-jenjang berikutnya
secara kontinu. Sehingga, apa yang diharapkan oleh semua elemen masyarakat
tercapai dan sila ke lima pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” terejahwantahkan secara utuh.
inti wacana ini menarik dan sangat benar, karena menurut saya, musuh yang paling besar, ganas dan sesungguhnya sangat membunuh dengan kejam ialah korupsi. perlu filter, dan landasan yg kuat, sehingga munculnya generasi baru tidak terkontaminasi virus tersebut.
BalasHapussukses Saudara. like
Trimakasih mba' nice,
BalasHapus