![]() |
Foto: Penulis |
Pendidikan
merupakan proses memanusiakan manusia (humanis) tanpa adanya dehumanisasi. Proses pendidikan yang
terjadi di Indonesia memiliki rentetan history yang implikasinya sampai dengan
era kontemporer. Hal itu kemudian
terjadi tidak terlepas dari masa kerajaan Hindu seperti kerajaan Kutai,
Tarumanegara, dan Majapahit, kerajaan Buddha seperti kerajaan Kalingga dan
Sriwijaya, serta masa kerajaan Islam seperti kerajaan Samudera Pasai, Demak,
Mataram dan Banten, semua asas praktik pendidikan di masa kerajaan Nusantara
diorientasikan pada misi penyebaran agama (Syaifudin). Ini dilakukan
semata-mata untuk memperkuat nilai-nilai spiritual dengan doktrin-doktrin agama
yang kemudian menjadi pondasi ataupun benteng pertahanan diri masing-masing
individu.
Pendidikan
ditempatkan sebagai sentral keilmuan terutama berkenaan dengan agama dalam menyongsong
dinamika-dinamika kegentingan yang terjadi pada saat masa kolonial
Belanda-imperialis Jepang. Yudi Latif seorang aktivis dan cendekiawan muda
Indonesia mengatakan "pendidikan merupakan agen yang paling kuat dalam
menyosialisasikan doktrin agama (Islam) di masa kerajaan Nusantara". Sehingga,
pendidikan sebagai langkah politis yang tepat dalam memberikan suntikan suplemen
bagi pribumi atas perbudakan yang dilakukan oleh kaum penjajah.
Akan
tetapi, praktik pendidikan yang dilakukan oleh Belanda sangat masif dan
memiliki tujuan yang memang terorganisir dalam menguasai kaum pribumi dengan
memanfaatkannya untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang limpah, kekerasan baik
secara fisik maupun psikis dan pembodohan secara sistematis terhadap kaum
pribumi menjadikan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia pada saat masa kolonial
Belanda. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Galtung “kekerasan terjadi bila
manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental
aktualnya berada dibawah realisasi potensinya”.
Namun,
praktik pendidikan agresif, represif yang kemudian dilakukan oleh
kolonial Belanda terhadap kaum pribumi mendapat kritikan tajam dari tokoh
pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara (Syaifudin) dalam majalah wasita yang ditulisnya berjudul
“Pengajaran bagi rakyat kita kurang dan mengecewakan”, dalam tulisannya Ki
Hajar Dewantara mengkritik praktik pendidikan kolonial Belanda yang pada
intinya menguntungkan pihak kolonial, bukan kaum pribumi. Begitupun dengan Tan
Malaka dalam bukunya "S.I. Semarang
dan Onderwijs" mengkritik bahwa praktik pendidikan kolonial yang tidak
lain sebagai arena diskriminasi tersembunyi.
Sedangkan pada masa imperialis Jepang praktik pendidikan ditekankan pada
penerapan praktik pendidikan etatisme (paham pengabdian pada Negara) dan kultus
hormat pada pimpinan, dalam hal ini Kaisar Jepang (Syaifudin).
Berangkat
dari hal di atas, maka tidaklah heran sistem pendidikan serta praktiknya saat
ini masih melekat dengan jiwa-jiwa kolonialisme, saling memarginalkan satu sama
lain dengan pengedepankan egosentris. Pendidikan dijadikan sebagai tempat untuk
memproduksi generasi-generasi karet, generasi yang gagap atas pergembangan
zaman serta tidak berkarakter. Paulo Freire dalam bukunya “pendidikan kaum tertindas” mengungkapkan pendidikan merupakan alat
penindas, oleh sebab itu, tujuan pendidikan idealnya memanusiakan manusia.
Pendidikan
tidak terlepas dari politik itu sendiri, karena dalam menentukan kebijakan
pendidikan tidak terlepas dari rezim yang berkuasa pada eranya masing-masing.
Bukan berarti kemudian politik dipisahkan serta ditempatkan pada ruang-ruang
hampa dan didefinisikan secara sempit. Karena yang menjadi catatan penting,
proses tranformasi pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari para figur. Misalnya
dalam bukunya Syaifudin, Founding Father Ir. Soekarno mengatakan bahwa “politik
adalah panglima”. Karena bagi Ir. Soekarno bangsa Indonesia saat itu masih
proses pencarian jati diri serta pencarian sistem kemapanan Negara dan ekonomi
kapitalis yang menjadi warisan dari kolonial, dan memilih pendidikan sebagai
agen dalam merealisasikan cita-citanya. Sehingga, ini menunjukkan bahwa begitu
signifikannya peran politik dalam mengintervensi sektor-sektor yang ada seperti
pendidikan. Lebih lanjut lagi, Syaifudin juga dalam bukunya "TAN MALAKA Merajut Masyarakat dan Pendidikan
Indonesia yang Sosialistis", dia mengungkapkan Presiden Soeharto sama
halnya dengan Presiden Soekarno turut mengintegrasikan proyek pembangunannya
dalam dunia pendidikan. Itu artinya, menurut hemat penulis adanya upaya
preventif dalam mempertahankan kekuasaan dari ancaman yang tidak diduga-duga.
Sehingga, kenapa kemudian Presiden Soeharto menjalankan strategi politik
pendidikan dengan menginternalisasikan ideologi Pancasila ke dalam kurikulum
lembaga pendidikan (Syaifudin).
Oleh
sebab itu, menurut hemat penulis education
and politic merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan, karena
dalam pendidikan secara implisit adanya politik. Sebab memahami serta memandang
politik tidak kemudian secara parsial akan tetapi secara holistis. Proses
dalam menentukan kebijakan dan dinamika-dinamika yang terjadi baik pada kerajaan
Hindu, Buddha, dan Islam serta dari rezim ke rezim menjadi catatan penting
dalam memahami bagaimana pergolakan pendidikan dan politik berdasarkan tinjauan
history Nusantara bahkan sampai dengan dinamika yang terjadi era kontemporer.
Penulis menyadari betul dalam muatan pembahasan masih banyak kekurangan baik
dari segi struktur bahasa, referensi serta konten-kontenya. Sehingga, besar
harapan dari penulis adanya kritikan serta saran yang membangun dalam perbaikan
tulisan.
Komentar
Posting Komentar