PARADIGMA PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DALAM MEMBENTUK GENERASI EMAS ABAD 21
![]() |
Foto: Penulis |
PARADIGMA PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI
4.0 DALAM MEMBENTUK GENERASI EMAS ABAD 21
Izul Islamudin*
*Mahasiswa Pascasarjana Dikdas UM
Email : izulhibersat1996@gmail.com
Abstrak
Pendidikan merupakan
alat untuk memutus rantai pembodohan. Karena pendidikan harus hadir sebagai
candradimuka dalam membentuk generasi yang cerdas secara intelektual,
emosional, serta spiritual. Pendidikan yang efektif serta efisien tentu tidak
terlepas dari kebijakan serta muatan-muatan nilai-nilai kearifan lokal. Karena
berbicara pendidikan sangat kompleks dan tentu dalam mengarungi bahtera
samudera ilmu pengetahuan dan arus globalisasi, pendidikan harus mampu berenang
dengan membawa muatan nilai-nilai kearifan lokal (lokal wisdom). Sehingga, di
era revolusi industri 4.0 pendidikan berbasis kearifan lokal menjadi filter
serta payung dalam mengarungi iklim arus revolusi industri 4.0 dalam
menyongsong pembentukan generasi emas Abad 21.
Kata Kunci: Paradigma Pendidikan, Kearifan Lokal, Revolusi Industri 4.0, Generasi
Emas Abad 21
Pendidikan
merupakan proses memanusiakan manusia. Melalui pendidikan manusia dapat
mengembangkan potensinya, sehingga manusia dapat menjalankan kehidupannya
dengan baik. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-Undang (UU) BAB XIII tentang pendidikan dan kebudayaan pasal
31 ayat 1 “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Sudah jelas
bahwa setiap orang itu berhak mendapatkan pendidikan agar dapat menjadi manusia yang dapat menjalankan kehidupannya dengan baik.
Mengutip yang disampaikan oleh Immanuel Kant “manusia akan menjadi manusia jika
mendapatkan pendidikan”.
Pendidikan
harus dijadikan sebagai kiblat dalam rekonstruksi
kebudayaan bangsa. Pendidikan bukan saja dipraktekkan dalam ruang-ruang hampa
yang terikat oleh sebuah kebijakan, akan tetapi bagaimana pendidikan harus
hadir secara terbuka yang tidak terikat oleh lembaga-lembaga pendidikan. Sehingga,
pembatasan kelas bukanlah bomerang dalam memenuhi kebutuhan individu akan
pendidikan. Pendidikan juga dijadikan sebagai penopang dalam menata serta
membentuk diri. Founding father
Republik Indonesia Ir. Soekarno (dalam Syaifudin, 2012), menyatakan bahwa
“pendidikan merupakan arena untuk mengasah akal dan mengembangkan
intelektualitas atau renaissance
paedagogie”. Kehadiran pendidikan yang terbuka harus menjadi landasan fundamental sebagai upaya preventif buta aksara serta sifat
kolonialisme yang masih melekat.
Pembebasan dari belenggu-belenggu yang menyebabkan
kekacauan, keacakan (cheos) dalam
membangun bangsa yang beradab harus menjadi perhatian khusus baik oleh
pemerintah itu sendiri maupun tokoh-tokoh masyarakat. Pendidikan harus dijadikan
sebagai substansi pembudayaan dalam
bersaing baik di skala lokal maupun skala internasional. Jika pendidikan
dianggap sebagai sesuatu yang kaku, terikat serta berada dalam ruang-ruang
hampa akan menjadikan penindas bagi kelas-kelas sosial dalam memperoleh haknya
akan pendidikan. Tokoh pendidikan Brasil Paulo Freire mengungkapkan pendidikan
merupakan alat penindas (Syaifudin, 2012). Itu artinya, pendidikan dijadikan
sebagai alat saling menindas satu sama lain dan menghilangkan prinsip dasar
dari kehidupan yaitu memanusiakan manusia (humanis).
Kemerdekaan dari manusia harus dipenuhi selama tidak mengganggu kemerdekaan
yang dimiliki oleh orang-orang sekitar.
Pendidikan
yang tidak terikat oleh ruang-ruang hampa tentu harus berdasarkan kebudayaan
bangsa Indonesia yang majemuk. Hal ini sesuai dengan ungakapan Daoed Joesoef
(dalam Tilaar, 2012), lembaga pendidikan sebagai pusat kebudayaan. Itu artinya,
pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) pada mata pelajaran yang konvensional. Akan tetapi lebih dari
itu, yaitu transfer nilai (transfer of
value). Dengan ungkapan tersebut, pendidikan baik formal maupun informal,
bukan hanya pada pembinaan kognitif, melainkan pengembangan aspek-aspek inteligensia sosial, emosional, serta
kinestetik (Tilaar, 2012). Implikasinya
adalah pada eksistensi budaya bangsa
diera globalisasi serta revolusi industri 4.0
dalam pembentukan kepribadian
dasar (basic personality) bangsa
Indonesia menjawab tantangan zaman kontemporer “generasi emas Abad 21”.
Dalam proses pendidikan tentu terjadinya proses
pembelajaran, proses pembelajaran merupakan interaksi secara sadar yang
dilakukan oleh seorang pendidik dengan peserta didik. Hal ini dilakukan guna
mentransfer pengetahuan serta nilai-nilai dalam pembelajaran sebagai ikhtiar
membentuk peserta didik yang berkarakter serta berakhlak mulia. Proses
pembelajaran yang efektif serta efisien tidak terlepas dari aktor dalam
proses pembelajaran yaitu seorang pendidik, pendidik yang dimaksud adalah
pendidik yang memiliki kompetensi yang mumpuni dalam melaksanakan proses
pembelajaran yang kreatif serta inovati. Jadi, pada hakikatnya pembelajaran
merupakan proses menjadikan orang agar mau belajar dan mampu (kompeten) belajar
melalui berbagai pengalamannya agar tingkah lakunya dapat berubah menjadi lebih
baik (Wiyani, 2013).
Perkembangan tingkah laku seseorang akan terlihat
ketika adanya proses pembelajaran dan proses belajar yang dilakukan secara kontinu. Apalagi di era revolusi
industri 4.0, proses pembelajaran yang dilakukan tentu sudah disesuaikan dengan
perkembangan teknologi informasi. Karena pada prinsipnya dengan berbagai macam
perkembangan teknologi informasi terutama dalam dunia pendidikan seorang
pendidik harus memiliki kompetensi yang mumpuni dan tidak gagap atas
perkembangan zaman, berangkat dari hal itu istilah itu mencerminkan proses pembelajaran
dan belajar yaitu “masyarakat industri modern”. Dimana maksud dari masyarakat
industri modern ini sendiri yaitu masyarakat yang terbuka, rasional, dan kritis. Masyarakat inilah yang terlahir dari rahim
pendidikan yang berbasis kearifan lokal (local
wisdom). Dalam hal ini cara belajar-mengajar yang indoktriner dan menghafal tidak pada tempatnya lagi, yang perlu
dikuasai peserta didik Abad 21 adalah informasi yang telah diolah sendiri atau
belajar mandiri (digested information)
(Tilaar, 2012). Lebih lanjut lagi, Tilaar (dalam Syaifudin, 2012) menambahkan,
pendidikan tidak hanya menciptakan manusia yang pintar, tetapi juga berbudaya.
Sehingga, muara dari pendidikan yang berbasis kearifan lokal (local wisdom) bagaimana
mentransformasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembelajaran yang
berbasis teknologi informasi (revolusi industri 4.0).
Berdasarkan rangkaian proses dialektika narasi di
atas, maka penulis menjelaskan tujuan secara general dalam artikel ini bagaiaman mengupas Paradigma Pendidikan
Berbasis Kearifan Lokal Di Era Revolusi Industri 4.0 dalam Membentuk Generasi
Emas Abad 21.
Pembahasan
Pendidikan
merupakan alat yang dijadikan sebagai pemutus rantai pembodohan pada bangsa
yang majemuk era kontemporer. Pendidikan
juga merupakan proses memanusiakan manusia. Melalui pendidikan manusia dapat
mengembangkan potensinya, sehingga manusia dapat menjalankan kehidupannya
dengan baik. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-Undang (UU) BAB XIII tentang pendidikan dan kebudayaan pasal
31 ayat 1 “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Sudah jelas
bahwa setiap orang itu berhak mendapatkan pendidikan agar dapat menjadi manusia yang dapat menjalankan kehidupannya dengan baik.
Mengutip yang disampaikan oleh Immanuel Kant “manusia akan menjadi manusia jika
mendapatkan pendidikan”.
Pendidikan berbasis kearifan lokal (local wisdom) harus dijadikan sebagai
hal yang fundamental serta pijakan atau bahkan sebagai selayar pandang bagi
generasi dalam mengarungi serta berenang pada perkembangan teknologi informasi
era revolusi industri 4.0. Perlu kemudian dalam menyikapi arus globaliasi
adanya internalisasi nilai-nilai
budaya dalam proses pendidikan sebagai upaya preventif akan adanya era revolusi industri 4.0 era kontemporer. Arus globalisasi atau era revolusi industri
4.0 bukan berarti sesuatu hal yang harus kemudian dihindari, akan tetapi ini
merupakan keniscayaan yang harus disikapi dengan baik, hal itu harus melalui
pendidikan yang dilakukan secara kontinu. Menurut Ki Hajar
Dewantara (dalam Rohani & Syaifullah, 2012) ada tiga macam lingkungan
pendidikan secara garis besar yaitu “yang meliputi keluarga (al-usratu), sekolah (al-madrasatu), dan masyarakat (al-mujtama’). Sehingga, dengan adanya
pendidikan berjenjang tanpa mengesampingkan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) diharapkan mampu membentuk
generasi emas Abad 21 sebagai solusi solutif
era revolusi industri 4.0 serta menunjukkan eksistensi
budaya bangsa yang majemuk.
Budaya
dapat diartikan sebagai pikiran, akal budi, berbudaya mempunyai budaya,
mempunyai pikiran dan akal budi untuk mengembangkan diri. Sedangkan, istilah
kebudayaan diartika sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sebagai
hasil pemikiran akal dan budinya (Sujarwa, 2014). Jadi, kebudayaan merupakan output dari pemikiran manusia yang
memiliki nilai etika dan estetika. Nilai etika yang berkaitan dengan adat
kebiasaan masyarakat, sedangkan estetika yang berkaitan dengan keindahan dari
kearifan lokal (local wisdom) budaya suatu daerah. Kearifan lokal (local wisdom) adalah bagian dari konstruksi budaya, kearifan lokal
mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah
masyarakat yang dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting
yang mampu mempertebal kohesi sosial
diantara warga masyarakat (Masita, 2012). Sedangkan dalam hasil analisis
Sindhunata (2000) mengenai definisi “kearifan” dalam bahasa-bahasa Indonesia,
Belanda, Inggris, dan Prancis, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi manusia
yang arif diperlukan syarat-syarat berikut: (a) pengetahuan yan luas (to be learned); (b) kecerdikan (smartness); (c) akal sehat (common sense); (d) tilika (insight), yaitu mengenal inti hal-hal
yang diketahui; (e) sikap hati-hati (prudence,
discrete); (f) pemahaman terhadap
norma-norma kebenaran; dan (g) kemampuan mencernakan (to digest) pengalaman hidup. Sehingga, kearifan ini merupakan
kemampuan dalam berpikir secara rasional
dalam menghasilkan tindakan-tindakan yang memuat nilai-nilai positif dalam
kehidupan.
Secara
sederhana kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan. Haryati Subandio
(dalam Brata, 2016) mengatakan “kearifan lokal (local wisdom) secara keseluruhan meliputi, bahkan mungkin dapat
dianggap sama dengan cultural identity
yang dapat diartikan dengan identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa”. Eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa sangat perlu
dilakukan untuk mengetahui berbagai macam keragaman budaya lokal yang dimiliki
oleh suatu daerah-daerah di Nusantara. Dengan demikian, kearifan lokal dan
kebudayaan merupakan satu kesatuan yang saling keterkaitan dan melekat dalam
suatu wilayah yang memiliki nilai-nilai etika dan estetika dan diwariskan
secara turun temurun melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal ini
pula terbina secara kumulatif, evolusioner, yang berkaitan dengan
agama, etnisitas, dan identitas yang sangat sensitif jika tidak disikapi dengan
baik (Brata, 2016).
Tentu,
dalam mencapai apa yang dicita-citakan terutama yang menjadi tujuan Pendidikan
Nasional harus kemudian adanya perencanaan, implementasi,
serta evaluasi dalam proses pembelajaran yang sistematis, terstruktur, serta kontinu.
Hal itu tentu kemudian harus memuat nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) sebagai filter serta pilar
dengan adanya era revolusi industri 4.0. Menurut Kagermann, dkk (dalam Sutupo
& Prasetyo, 2018) istilah Industri 4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman
tepatnya saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011. Sedangkan menurut Angela,
Merkel (dalam Sutupo & Prasetyo, 2018) berpendapat bahwa Industri 4.0
adalah transformasi komprehensif dari
keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital
dan internet dengan industri konvensional. Itu artinya, dari rentetan revolusi
industri yang terjadi ada perubahan yang begitu signifikan baik dari sektor
sosial, politik, perekonomian maupun pendidikan itu sendiri. Mengutip yang
disampaikan oleh Piliang (2012) dalam suatu jurnalnya “Masyarakat Informasi dan
Digital” mejelaskan bahwa kecanggihan teknologi informasi telah menciptakan
sebuah ruang baru yang bersifat artifisial
dan maya yaitu “Cyberspce”. Cyberspace telah mengalihkan berbagai
aktivitas manusia (politik, sosial, ekonomi, kultural, spiritual, seksual,
pendidikan dll). Terjadinya pengalihan dari dunia nyata ke dunia maya atau yang
biasa diistilahkan migrasi ini pula
tentu memberikan dampak negatif jika kemudian tidak adanya penyeimbangan antara
transfer ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge) dan transfer nilai kearifan lokal (local transfer of wisdom) dalam mengkontekstualisasikan pendidikan.
Berangkat
dari hal diatas, kemudian muncul istilah
revolusi industri 4.0 (industrial
revolution 4.0). Menurut Ningsing “revolusi” digunakan untuk menunjukkan
perubahan yang sangat cepat dan fundamental,
serta bersifat disruptive (merusak
tatanan lama yang sudah ada selama bertahun-tahun), sementara gelombang ke-4 menandakan
urutan kejadian revolusi industri yang pernah ada. Lee et al (dalam Yahya, 2018) menjalaskan, industri 4.0 ditandai
dengan peningkatan digitalisasi manufaktur yang didorong oleh empat faktor: (1)
peningkatan volume data, kekuatan komputasi, dan konektivitas; (2) munculnya
analisis, kemampuan, dan kecerdasan bisnis; (3) terjadinya bentuk interaksi
baru antara manusia dengan mesin; dan (4) perbaikan instruksi transfer digital
ke dunia fisik, seperti robotika dan 3D printing.
Dengan ditandai empat faktor industri 4.0 perlu kemudian menurut hemat penulis
adanya formulasi dalam rancangan pembelajaran yang berbasis kearifan lokal (local widom) di era revolusi
industri 4.0.
Peubahan yang semakin dinamis baik dalam kehidupan sosial, politik, kultur, agama,
pendidikan dll menuntut adanya pijakan dalam proses pendidikan tentunya. Hal
itu dilakukan tentu melalui pendidikan karakter dengan menginternalisasikan
nilai-nilai kearifan lokal dalam menyongsong perkembangan zaman atau yang
dikenal dengan era revolusi industri 4.0. Karena dalam membentuk generasi emas
Abad 21 tidaklah kemudian mudah seperti membalikkan telapak tangan. Akan
tetapi, hal itu harus melalui paradigma pendidikan berbasis kearifan lokal (local wisdom) yang dijadikan sebagai
identitas bangsa Indonesia yang majemuk. Ki Hadjar Dewantara (dalam Tilaar,
2012) menjelaskan konsep tentang fungsi kebudayaan di dalam pendidikan
nasional, Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar pendidikan yang berdasarkan kebudayaan,
mengubah perjuangannya dari perjuangan partai politik (Indische Partij) menjadi
perjuangan melalui pendidikan yang berdasarkan kebudayaan nasional. Ini artinya
kebudayaan nasional selain sebagai senjata yang ampuh melawan kekuasaan
penjajah, kebudayaan nasional juga dijadikan sebagai tameng dalam penguatan
serta membentuk generasi emas dalam pusaran era revolusi industri 4.0 kontemporer.
Menurut Nur
Rosyid, dkk (dalam Purnomo, 2014) berdasarkan hasil Sarasehan Nasional
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal
14 Januari 2010 telah dicapai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa antara lain sebagai berikut: (1) Pendidikan budaya
dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari
pendidikan nasional secara utuh; (2) Pendidikan budaya dan karakter bangsa
harus dikembangkan secara komprehensif
sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan secara kelembagaan
perlu diwadahi secara utuh; (3) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan
tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orang tua.
Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa harus
melibatkan keempat unsur tersebut; dan (4) Dalam upaya merevitalisasi
pendidikan budaya dan karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna
menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.
Adanya kesepakatan
tersebut menjadi titik awal serta titik balik dalam pelaksaan pendidikan yang
berbasis kearifan lokal (local wisdom)
dalam membetuk generasi emas Abad 21 yang berkarakter serta cerdas secara
intelektual, spiritual, dan emosional. Langkah ini dijadikan sebagai upaya preventif terjadinya degradasi moral
perkembangan teknologi informasi era kontemporer.
Nur
Rosyid, dkk (dalam Purnomo, 2014) merumuskan 18 nilai-nilai yang perlu
dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa, yaitu: (1)
religius; (2) jujur; (3) toleransi; (4) disiplin; (5) kerja keras; (6) kreatif;
(7) mandiri; (8) demokratis; (9) rasa ingin tahu; (10) semangat kebangsaan;
(11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi; (13) bersahabat atau
komunikatif; (14) cinta damai; (15) gemar membaca; (16) peduli lingkungan; (17)
peduli sosial; dan (18) tanggung jawab. Sehingga, konsekuensi logis dari muatan
nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter adalah generasi emas Abad ke-21, generasi yang tidak
gagap atas perkembangan teknologi informasi serta generasi yang mampu berenang
di samudera perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dengan
membawa muatan nilai-nilai kearifan lokal (local
wisdom) sebagai identitas serta membentuk generasi millenial dengan
mengedepankan muatan nilai-nilai kearifan lokal. Generasi yang dimaksud adalah
generasi yang memiliki kompetensi yang mumpuni dalam perkembangan era revolusi
industri 4.0. Sejalan dengan perkembangan IPTEKS dan kebutuhan global, UNESCO
menetapkan kompetensi untuk hidup abad 21 (dalam Sani, 2014), yaitu sebagai
berikut: (a) Kreativitas dan inovasi; (b) Kemampuan berpikir kritis dan
menyelesaikan masalah; (c) Komunikasi dan kolaborasi; (d) Keterampilan sosial
dan lintas budaya; dan (e) Penguasaan informasi.
Simpulan
Berdasarkan pemaparan
di atas, dapat ditarik benang merah bahwasanya paradigma pendidikan berbasis kearifan
lokal di era revolusi industri 4.0 dalam membentuk generasi emas Abad 21 adalah
selayar pandang serta pilar dalam menginternalisasikan nilai-nilai kearifan
lokal (local wisdom) dalam membentuk
generasi emas yang berkarakter serta cerdas secara spiritual, intelektual, dan
emosional dalam mengarungi bahtera dinamika yang dinamis era revolusi industri 4.0. Dinamika yang begitu dinamis
tentu kemudian perlunya kecakapan serta wawasan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi informasi tanpa menghilangkan substasi
serta esensi dari kearifan lokal (local wisdom).
Era revolusi industri
4.0 merupakan sesuatu keniscayaan yang kemudian disikapi dengan sikap terbuka, rasional, serta penguatan karakter
dengan nilai-nilai kearifan lokal (local
wisdom) akan perubahan yang dinamis,
perubahan yang terjadi baik dari sektor politik, sosial,
ekonomi, kultural, spiritual, seksual, pendidikan dll. Sehingga, dalam
menyongsong perkembangan zaman yang dinamis,
perlunya internalisasi nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pendidikan yang kontinu dalam membentuk generasi emas
Abad 21.
Daftar Rujukan
Brata, Ida Bagus. Kearifan Budaya Lokal Perekat Identitas Bangsa. Jurnal Bakti
Saraswati Vol. 05 No. 01. Maret 2016.
Saraswati Vol. 05 No. 01. Maret 2016.
Jenderal MPR RI. 2014. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Masita. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal pada Masyarakat Muslim.
Volume 15 Nomor 2 Desember 2012.
(http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/viewFile/1668/1776),
diakses 3 Desember 2019.
Ningsih,
Murti. Pengaruh Perkembangan Revolusi Industri 4.0 Dalam Dunia Teknologi Di
Indonesia. Fakultas
Komputer UAS – 88675543.
Piliang, Yasraf Amir. 2012. Masyarakat Informasi Dan Digital:Teknologi Informasi
Dan Perubahan Sosial.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012. https://media.neliti.com/media/publications/41503-none-dcf5b5fa.pdf,
diakses 4 Desember 2019.
Purnomo,
Sutrimo. 2014. Pendidikan Karakter di Indonesia: Antara Asa dan Realita. Jurnal
Kependidikan, Vol. II No. 2 November 2014. https://media.neliti.com/media/publications/104152-ID-pendidikan-karakter-di-indonesia-antara.pdf,
diakses 4 Desember 2019.
Rohani, Supangat & Syaifullah,
Hamli. 2012. Optimalisasi Pendidikan
Karakter untuk Menumbuh Kembangkan
Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Vol. 6 Nomor 1,
(http://jounal.walisongo.ac.id/index.php/Nadwa/article/view/463/423),
diakses 3 Desember 2019.
Sujarwa. 2014. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syaifudin. 2012.
TAN MALAKA: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis.
Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Sani, Ridwan
Abdullah. 2014. Pembelajaran Saintifik
untuk Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sindhutama.
2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: KANISIUS (Anggota
IKAPI).
Sutopo, Wahyudi & Prasetyo, Hoedi. 2018. Industri 4.0:
Telaahklasifikasi Aspek Dan Arah Perkembangan Riset. J@ti Undip: Jurnal Teknik
Industri, Vol. 13, No. 1, Januari 2018.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jgti/article/viewFile/18369/12865,
diakses 4 Desember 2019.
Tilaar, H.A.R.
2012. Kaleidoskop Pendidikan Nasional.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Wiyani, Novan
Ardy. 2013. Desain Pembelajaran
Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Yahya, Muhammad. 2018. Era Industri 4.0: Tantangan Dan Peluang Perkembangan Pendidikan
Kejuruan Indonesia. Orasi Ilmiah Professor bidang Ilmu Pendidikan
Kejuruan Universitas Negeri Makassar Tanggal 14 Maret 2018. hlm. 2-3.
Komentar
Posting Komentar