Langsung ke konten utama

PARADIGMA PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DALAM MEMBENTUK GENERASI EMAS ABAD 21

Foto: Penulis

PARADIGMA PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DALAM MEMBENTUK GENERASI EMAS ABAD 21
Izul Islamudin*
*Mahasiswa Pascasarjana Dikdas UM

Abstrak
Pendidikan merupakan alat untuk memutus rantai pembodohan. Karena pendidikan harus hadir sebagai candradimuka dalam membentuk generasi yang cerdas secara intelektual, emosional, serta spiritual. Pendidikan yang efektif serta efisien tentu tidak terlepas dari kebijakan serta muatan-muatan nilai-nilai kearifan lokal. Karena berbicara pendidikan sangat kompleks dan tentu dalam mengarungi bahtera samudera ilmu pengetahuan dan arus globalisasi, pendidikan harus mampu berenang dengan membawa muatan nilai-nilai kearifan lokal (lokal  wisdom). Sehingga, di era revolusi industri 4.0 pendidikan berbasis kearifan lokal menjadi filter serta payung dalam mengarungi iklim arus revolusi industri 4.0 dalam menyongsong pembentukan generasi emas Abad 21.

Kata Kunci: Paradigma Pendidikan, Kearifan Lokal, Revolusi Industri 4.0, Generasi Emas Abad 21

Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Melalui pendidikan manusia dapat mengembangkan potensinya, sehingga manusia dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-Undang (UU) BAB  XIII tentang pendidikan dan kebudayaan pasal 31 ayat 1 “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Sudah jelas bahwa setiap orang itu berhak mendapatkan pendidikan agar dapat menjadi manusia yang dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Mengutip yang disampaikan oleh Immanuel Kant “manusia akan menjadi manusia jika mendapatkan pendidikan”.
Pendidikan harus dijadikan sebagai kiblat dalam rekonstruksi kebudayaan bangsa. Pendidikan bukan saja dipraktekkan dalam ruang-ruang hampa yang terikat oleh sebuah kebijakan, akan tetapi bagaimana pendidikan harus hadir secara terbuka yang tidak terikat oleh lembaga-lembaga pendidikan. Sehingga, pembatasan kelas bukanlah bomerang dalam memenuhi kebutuhan individu akan pendidikan. Pendidikan juga dijadikan sebagai penopang dalam menata serta membentuk diri. Founding father Republik Indonesia Ir. Soekarno (dalam Syaifudin, 2012), menyatakan bahwa “pendidikan merupakan arena untuk mengasah akal dan mengembangkan intelektualitas atau renaissance paedagogie”. Kehadiran pendidikan yang terbuka harus menjadi landasan fundamental sebagai upaya preventif buta aksara serta sifat kolonialisme yang masih melekat.
Pembebasan dari belenggu-belenggu yang menyebabkan kekacauan, keacakan (cheos) dalam membangun bangsa yang beradab harus menjadi perhatian khusus baik oleh pemerintah itu sendiri maupun tokoh-tokoh masyarakat. Pendidikan harus dijadikan sebagai substansi pembudayaan dalam bersaing baik di skala lokal maupun skala internasional. Jika pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang kaku, terikat serta berada dalam ruang-ruang hampa akan menjadikan penindas bagi kelas-kelas sosial dalam memperoleh haknya akan pendidikan. Tokoh pendidikan Brasil Paulo Freire mengungkapkan pendidikan merupakan alat penindas (Syaifudin, 2012). Itu artinya, pendidikan dijadikan sebagai alat saling menindas satu sama lain dan menghilangkan prinsip dasar dari kehidupan yaitu memanusiakan manusia (humanis). Kemerdekaan dari manusia harus dipenuhi selama tidak mengganggu kemerdekaan yang dimiliki oleh orang-orang sekitar.
Pendidikan yang tidak terikat oleh ruang-ruang hampa tentu harus berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia yang majemuk. Hal ini sesuai dengan ungakapan Daoed Joesoef (dalam Tilaar, 2012), lembaga pendidikan sebagai pusat kebudayaan. Itu artinya, pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) pada mata pelajaran yang konvensional. Akan tetapi lebih dari itu, yaitu transfer nilai (transfer of value). Dengan ungkapan tersebut, pendidikan baik formal maupun informal, bukan hanya pada pembinaan kognitif, melainkan pengembangan aspek-aspek inteligensia sosial, emosional, serta kinestetik  (Tilaar, 2012). Implikasinya adalah pada eksistensi budaya bangsa diera globalisasi serta revolusi industri 4.0  dalam  pembentukan kepribadian dasar (basic personality) bangsa Indonesia menjawab tantangan zaman kontemporer “generasi emas Abad 21”.
Dalam proses pendidikan tentu terjadinya proses pembelajaran, proses pembelajaran merupakan interaksi secara sadar yang dilakukan oleh seorang pendidik dengan peserta didik. Hal ini dilakukan guna mentransfer pengetahuan serta nilai-nilai dalam pembelajaran sebagai ikhtiar membentuk peserta didik yang berkarakter serta berakhlak mulia. Proses pembelajaran yang efektif serta efisien tidak terlepas dari aktor dalam proses pembelajaran yaitu seorang pendidik, pendidik yang dimaksud adalah pendidik yang memiliki kompetensi yang mumpuni dalam melaksanakan proses pembelajaran yang kreatif serta inovati. Jadi, pada hakikatnya pembelajaran merupakan proses menjadikan orang agar mau belajar dan mampu (kompeten) belajar melalui berbagai pengalamannya agar tingkah lakunya dapat berubah menjadi lebih baik (Wiyani, 2013).
Perkembangan tingkah laku seseorang akan terlihat ketika adanya proses pembelajaran dan proses belajar yang dilakukan secara kontinu. Apalagi di era revolusi industri 4.0, proses pembelajaran yang dilakukan tentu sudah disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. Karena pada prinsipnya dengan berbagai macam perkembangan teknologi informasi terutama dalam dunia pendidikan seorang pendidik harus memiliki kompetensi yang mumpuni dan tidak gagap atas perkembangan zaman, berangkat dari hal itu istilah itu mencerminkan proses pembelajaran dan belajar yaitu “masyarakat industri modern”. Dimana maksud dari masyarakat industri modern ini sendiri yaitu masyarakat yang terbuka, rasional, dan kritis. Masyarakat inilah yang terlahir dari rahim pendidikan yang berbasis kearifan lokal (local wisdom). Dalam hal ini cara belajar-mengajar yang indoktriner dan menghafal tidak pada tempatnya lagi, yang perlu dikuasai peserta didik Abad 21 adalah informasi yang telah diolah sendiri atau belajar mandiri (digested information) (Tilaar, 2012). Lebih lanjut lagi, Tilaar (dalam Syaifudin, 2012) menambahkan, pendidikan tidak hanya menciptakan manusia yang pintar, tetapi juga berbudaya. Sehingga, muara dari pendidikan yang berbasis kearifan lokal (local wisdom) bagaimana mentransformasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembelajaran yang berbasis teknologi informasi (revolusi industri 4.0).
Berdasarkan rangkaian proses dialektika narasi di atas, maka penulis menjelaskan tujuan secara general dalam artikel ini bagaiaman mengupas Paradigma Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal Di Era Revolusi Industri 4.0 dalam Membentuk Generasi Emas Abad 21.
    
Pembahasan
Pendidikan merupakan alat yang dijadikan sebagai pemutus rantai pembodohan pada bangsa yang majemuk era kontemporer. Pendidikan juga merupakan proses memanusiakan manusia. Melalui pendidikan manusia dapat mengembangkan potensinya, sehingga manusia dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-Undang (UU) BAB  XIII tentang pendidikan dan kebudayaan pasal 31 ayat 1 “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Sudah jelas bahwa setiap orang itu berhak mendapatkan pendidikan agar dapat menjadi manusia yang dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Mengutip yang disampaikan oleh Immanuel Kant “manusia akan menjadi manusia jika mendapatkan pendidikan”.
Pendidikan berbasis kearifan lokal (local wisdom) harus dijadikan sebagai hal yang  fundamental serta pijakan atau bahkan sebagai selayar pandang bagi generasi dalam mengarungi serta berenang pada perkembangan teknologi informasi era revolusi industri 4.0. Perlu kemudian dalam menyikapi arus globaliasi adanya internalisasi nilai-nilai budaya dalam proses pendidikan sebagai upaya preventif akan adanya era revolusi industri 4.0 era kontemporer.  Arus globalisasi atau era revolusi industri 4.0 bukan berarti sesuatu hal yang harus kemudian dihindari, akan tetapi ini merupakan keniscayaan yang harus disikapi dengan baik, hal itu harus melalui pendidikan yang dilakukan secara kontinu. Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Rohani & Syaifullah, 2012) ada tiga macam lingkungan pendidikan secara garis besar yaitu “yang meliputi keluarga (al-usratu), sekolah (al-madrasatu), dan masyarakat (al-mujtama’). Sehingga, dengan adanya pendidikan berjenjang tanpa mengesampingkan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) diharapkan mampu membentuk generasi emas Abad 21 sebagai solusi solutif era revolusi industri 4.0 serta menunjukkan eksistensi budaya bangsa yang majemuk.
Budaya dapat diartikan sebagai pikiran, akal budi, berbudaya mempunyai budaya, mempunyai pikiran dan akal budi untuk mengembangkan diri. Sedangkan, istilah kebudayaan diartika sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sebagai hasil pemikiran akal dan budinya (Sujarwa, 2014). Jadi, kebudayaan merupakan output dari pemikiran manusia yang memiliki nilai etika dan estetika. Nilai etika yang berkaitan dengan adat kebiasaan masyarakat, sedangkan estetika yang berkaitan dengan keindahan dari kearifan lokal  (local wisdom) budaya suatu daerah. Kearifan lokal (local wisdom) adalah bagian dari konstruksi budaya, kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial diantara warga masyarakat (Masita, 2012). Sedangkan dalam hasil analisis Sindhunata (2000) mengenai definisi “kearifan” dalam bahasa-bahasa Indonesia, Belanda, Inggris, dan Prancis, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi manusia yang arif diperlukan syarat-syarat berikut: (a) pengetahuan yan luas (to be learned); (b) kecerdikan (smartness); (c) akal sehat (common sense); (d) tilika (insight), yaitu mengenal inti hal-hal yang diketahui; (e) sikap hati-hati (prudence, discrete); (f) pemahaman terhadap norma-norma kebenaran; dan (g) kemampuan mencernakan (to digest) pengalaman hidup. Sehingga, kearifan ini merupakan kemampuan dalam berpikir secara rasional dalam menghasilkan tindakan-tindakan yang memuat nilai-nilai positif dalam kehidupan.
Secara sederhana kearifan lokal merupakan bagian dari kebudayaan. Haryati Subandio (dalam Brata, 2016) mengatakan “kearifan lokal (local wisdom) secara keseluruhan meliputi, bahkan mungkin dapat dianggap sama dengan cultural identity yang dapat diartikan dengan identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa. Eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa sangat perlu dilakukan untuk mengetahui berbagai macam keragaman budaya lokal yang dimiliki oleh suatu daerah-daerah di Nusantara. Dengan demikian, kearifan lokal dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang saling keterkaitan dan melekat dalam suatu wilayah yang memiliki nilai-nilai etika dan estetika dan diwariskan secara turun temurun melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal ini pula terbina secara kumulatif, evolusioner, yang berkaitan dengan agama, etnisitas, dan identitas yang sangat sensitif jika tidak disikapi dengan baik (Brata, 2016).
Tentu, dalam mencapai apa yang dicita-citakan terutama yang menjadi tujuan Pendidikan Nasional harus kemudian adanya perencanaan, implementasi, serta evaluasi dalam proses pembelajaran yang sistematis, terstruktur, serta kontinu. Hal itu tentu kemudian harus memuat nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) sebagai filter serta pilar dengan adanya era revolusi industri 4.0. Menurut Kagermann, dkk (dalam Sutupo & Prasetyo, 2018) istilah Industri 4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman tepatnya saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011. Sedangkan menurut Angela, Merkel (dalam Sutupo & Prasetyo, 2018) berpendapat bahwa Industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional. Itu artinya, dari rentetan revolusi industri yang terjadi ada perubahan yang begitu signifikan baik dari sektor sosial, politik, perekonomian maupun pendidikan itu sendiri. Mengutip yang disampaikan oleh Piliang (2012) dalam suatu jurnalnya “Masyarakat Informasi dan Digital” mejelaskan bahwa kecanggihan teknologi informasi telah menciptakan sebuah ruang baru yang bersifat artifisial dan maya yaitu “Cyberspce”. Cyberspace telah mengalihkan berbagai aktivitas manusia (politik, sosial, ekonomi, kultural, spiritual, seksual, pendidikan dll). Terjadinya pengalihan dari dunia nyata ke dunia maya atau yang biasa diistilahkan migrasi ini pula tentu memberikan dampak negatif jika kemudian tidak adanya penyeimbangan antara transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dan transfer nilai kearifan lokal (local transfer of wisdom) dalam mengkontekstualisasikan pendidikan.
Berangkat dari hal diatas, kemudian muncul istilah revolusi industri 4.0 (industrial revolution 4.0). Menurut Ningsing “revolusi” digunakan untuk menunjukkan perubahan yang sangat cepat dan fundamental, serta bersifat disruptive (merusak tatanan lama yang sudah ada selama bertahun-tahun), sementara gelombang ke-4 menandakan urutan kejadian revolusi industri yang pernah ada. Lee et al (dalam Yahya, 2018) menjalaskan, industri 4.0 ditandai dengan peningkatan digitalisasi manufaktur yang didorong oleh empat faktor: (1) peningkatan volume data, kekuatan komputasi, dan konektivitas; (2) munculnya analisis, kemampuan, dan kecerdasan bisnis; (3) terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia dengan mesin; dan (4) perbaikan instruksi transfer digital ke dunia fisik, seperti robotika dan 3D printing. Dengan ditandai empat faktor industri 4.0 perlu kemudian menurut hemat penulis adanya formulasi dalam rancangan pembelajaran yang berbasis kearifan lokal (local widom) di era revolusi industri 4.0.
Peubahan  yang semakin dinamis baik dalam kehidupan sosial, politik, kultur, agama, pendidikan dll menuntut adanya pijakan dalam proses pendidikan tentunya. Hal itu dilakukan tentu melalui pendidikan karakter dengan menginternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam menyongsong perkembangan zaman atau yang dikenal dengan era revolusi industri 4.0. Karena dalam membentuk generasi emas Abad 21 tidaklah kemudian mudah seperti membalikkan telapak tangan. Akan tetapi, hal itu harus melalui paradigma pendidikan berbasis kearifan lokal (local wisdom) yang dijadikan sebagai identitas bangsa Indonesia yang majemuk. Ki Hadjar Dewantara (dalam Tilaar, 2012) menjelaskan konsep tentang fungsi kebudayaan di dalam pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar pendidikan yang berdasarkan kebudayaan, mengubah perjuangannya dari perjuangan partai politik (Indische Partij) menjadi perjuangan melalui pendidikan yang berdasarkan kebudayaan nasional. Ini artinya kebudayaan nasional selain sebagai senjata yang ampuh melawan kekuasaan penjajah, kebudayaan nasional juga dijadikan sebagai tameng dalam penguatan serta membentuk generasi emas dalam pusaran era revolusi industri 4.0 kontemporer.
Menurut Nur Rosyid, dkk (dalam Purnomo, 2014) berdasarkan hasil Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 2010 telah dicapai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa antara lain sebagai berikut: (1) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh; (2) Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh; (3) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orang tua. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut; dan (4) Dalam upaya merevitalisasi pendidikan budaya dan karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.
Adanya kesepakatan tersebut menjadi titik awal serta titik balik dalam pelaksaan pendidikan yang berbasis kearifan lokal (local wisdom) dalam membetuk generasi emas Abad 21 yang berkarakter serta cerdas secara intelektual, spiritual, dan emosional. Langkah ini dijadikan sebagai upaya preventif terjadinya degradasi moral perkembangan teknologi informasi era kontemporer. Nur Rosyid, dkk (dalam Purnomo, 2014) merumuskan 18 nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa, yaitu: (1) religius; (2) jujur; (3) toleransi; (4) disiplin; (5) kerja keras; (6) kreatif; (7) mandiri; (8) demokratis; (9) rasa ingin tahu; (10) semangat kebangsaan; (11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi; (13) bersahabat atau komunikatif; (14) cinta damai; (15) gemar membaca; (16) peduli lingkungan; (17) peduli sosial; dan (18) tanggung jawab. Sehingga, konsekuensi logis dari muatan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter adalah generasi emas Abad ke-21, generasi yang tidak gagap atas perkembangan teknologi informasi serta generasi yang mampu berenang di samudera perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dengan membawa muatan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) sebagai identitas serta membentuk generasi millenial dengan mengedepankan muatan nilai-nilai kearifan lokal. Generasi yang dimaksud adalah generasi yang memiliki kompetensi yang mumpuni dalam perkembangan era revolusi industri 4.0. Sejalan dengan perkembangan IPTEKS dan kebutuhan global, UNESCO menetapkan kompetensi untuk hidup abad 21 (dalam Sani, 2014), yaitu sebagai berikut: (a) Kreativitas dan inovasi; (b) Kemampuan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah; (c) Komunikasi dan kolaborasi; (d) Keterampilan sosial dan lintas budaya; dan (e) Penguasaan informasi.

Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwasanya paradigma pendidikan berbasis kearifan lokal di era revolusi industri 4.0 dalam membentuk generasi emas Abad 21 adalah selayar pandang serta pilar dalam menginternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam membentuk generasi emas yang berkarakter serta cerdas secara spiritual, intelektual, dan emosional dalam mengarungi bahtera dinamika yang dinamis era revolusi industri 4.0. Dinamika yang begitu dinamis tentu kemudian perlunya kecakapan serta wawasan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi tanpa menghilangkan substasi serta esensi dari kearifan lokal (local wisdom).
Era revolusi industri 4.0 merupakan sesuatu keniscayaan yang kemudian disikapi dengan sikap terbuka, rasional, serta penguatan karakter dengan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) akan perubahan yang dinamis, perubahan yang terjadi baik dari sektor politik, sosial, ekonomi, kultural, spiritual, seksual, pendidikan dll. Sehingga, dalam menyongsong perkembangan zaman yang dinamis, perlunya internalisasi nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pendidikan yang kontinu dalam membentuk generasi emas Abad 21.




Daftar Rujukan

Brata, Ida Bagus. Kearifan Budaya Lokal Perekat Identitas Bangsa. Jurnal Bakti
Saraswati Vol. 05 No. 01. Maret 2016
.
              (http://ojs.unmas.ac.id/index.php/Bakti/article/view/226/201), diakses 3 Desember 2019.
Jenderal MPR RI. 2014. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Masita. 2012. Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal pada Masyarakat Muslim. Volume 15 Nomor 2 Desember 2012.
Ningsih, Murti. Pengaruh Perkembangan Revolusi Industri 4.0 Dalam Dunia Teknologi Di Indonesia. Fakultas Komputer UAS – 88675543.
Piliang, Yasraf Amir. 2012. Masyarakat Informasi Dan Digital:Teknologi Informasi Dan Perubahan Sosial. Jurnal Sosioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012. https://media.neliti.com/media/publications/41503-none-dcf5b5fa.pdf, diakses 4 Desember 2019.
Purnomo, Sutrimo. 2014. Pendidikan Karakter di Indonesia: Antara Asa dan Realita. Jurnal Kependidikan, Vol. II No. 2 November 2014. https://media.neliti.com/media/publications/104152-ID-pendidikan-karakter-di-indonesia-antara.pdf, diakses 4 Desember 2019.
Rohani, Supangat & Syaifullah, Hamli. 2012. Optimalisasi Pendidikan Karakter    untuk Menumbuh Kembangkan Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Vol. 6 Nomor 1,
              (http://jounal.walisongo.ac.id/index.php/Nadwa/article/view/463/423), diakses 3 Desember 2019.
Sujarwa. 2014. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syaifudin. 2012. TAN MALAKA: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Sani, Ridwan Abdullah. 2014. Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sindhutama. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta: KANISIUS (Anggota IKAPI).
Sutopo, Wahyudi & Prasetyo, Hoedi. 2018. Industri 4.0: Telaahklasifikasi Aspek Dan Arah Perkembangan Riset. J@ti Undip: Jurnal Teknik Industri, Vol. 13, No. 1, Januari 2018.
Tilaar, H.A.R. 2012. Kaleidoskop Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Wiyani, Novan Ardy. 2013. Desain Pembelajaran Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz   Media.
Yahya, Muhammad. 2018. Era Industri 4.0: Tantangan Dan Peluang Perkembangan Pendidikan Kejuruan Indonesia. Orasi Ilmiah Professor bidang Ilmu Pendidikan Kejuruan Universitas Negeri Makassar Tanggal 14 Maret 2018. hlm. 2-3.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Pendidikan Karakter dalam Menyongsong Abad 21

Foto: Penulis Pendidikan menjadi sentral utama dalam membentuk individu yang mampu menjawab tantangan zaman era kontemporer. Pendidikan tidak hanya tendensi pada proses transfer ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge ), akan tetapi bagaimana penyelarasan transfer ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge ) dengan transfer nilai ( transfer of   value ) dalam menciptakan individu yang cerdas secara spiritual, intelektual, serta emosional. Individu yang memiliki perilaku yang baik, cakap, mandiri, bertanggung jawab, berakhlak mulia serta mampu mengendalikan diri di tengah kehidupan sehari-hari. Sebagaimana fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang pada Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas Bab 2 pasal 3, yaitu: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan b...

ESSAY: Dampak Perkembangan Teknologi pada Pembelajaran Daring di Tengah Pandemi 19 (Perspektif Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget)

Ilustrasi: kecanggihan teknologi (dok. suara.com) Oleh: Izul Islamudin, M.Pd. Dinamika proses pembelajaran merupakan interaksi yang dilakukan antara peserta didik dan pendidik dalam membentuk peserta didik yang cerdas secara spiritual, intelektual, dan emosional. Wabah covid 19 yang menimpa dunia internasional menjadikan dinamika kehidupan dunia bergeser dari yang konvensional beralih ke digital. Dalam konteks pandemi covid 19 yang terjadi di Indonesia dewasa ini memakan korban jiwa, di terapkan social distancing , proses pembelajaran daring (online). Hal inilah problem yang perlu disikapi dalam kehidupan dewasa ini. Dalam proses pembelajaran yang semulanya dilakukan secara konvensional, kini dilakukan secara daring (online) karena kondisi yang tidak memungkinkan. Pembelajaran daring inilah yang kemudian dijadikan sebagai alternatif dalam mengatasi keberlanjutan proses pembelajaran. Akan tetapi, dalam proses pembelajaran daring tentu memiliki permasalahan, baik itu permasalahan pad...