Foto: Penulis |
Bangsa
yang besar merupakan bangsa yang memiliki SDM yang berkualitas sebagai roh
dalam membentuk serta menggerakkan bangsa kearah yang lebih progresif. Pendidikan
harus dijadikan sebagai kiblat dalam rekonstruksi kebudayaan bangsa.
Pendidikan bukan saja dipraktekkan dalam ruang-ruang hampa yang terikat oleh
sebuah kebijakan, akan tetapi bagaimana pendidikan harus hadir secara terbuka
yang tidak terikat oleh lembaga—lembaga pendidikan sehingga pembatasan kelas
bukanlah bomerang dalam memenuhi kebutuhan individu akan pendidikan sebagai
penopang dalam menata serta membentuk diri. Founding
father Republik Indonesia Ir. Soekarno menyatakan bahwa “pendidikan
merupakan arena untuk mengasah akal dan mengembangkan intelektualitas atau renaissance paedagogie”. Kehadiran pendidikan yang terbuka harus
menjadi landasan fundamental sebagai upaya prefentif buta aksara serta sifat
kolonialisme yang masih melekat.
Pembebasan
dari belenggu-belenggu yang menyebabkan kekacauan, keacakan (cheos) dalam membangun bangsa yang
beradab harus menjadi perhatian khusus baik oleh pemerintah itu sendiri maupun
tokoh-tokoh masyarakat. Pendidikan harus dijadikan sebagai substansi
pembudayaan dalam bersaing baik di skala lokal maupun skala internasional. Jika
pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang kaku, terikat serta berada dalam
ruang-ruang hampa akan menjadikan penindas bagi kelas-kelas sosial dalam
memperoleh haknya akan pendidikan. Tokoh pendidikan Brasil Paulo Freire mengungkapkan
pendidikan merupakan alat penindas. Itu artinya, pendidikan dijadikan sebagai
alat saling menindas satu sama lain dan menghilangkan prinsip dasar dari
kehidupan yaitu memanusiakan manusia (humanis). Kemerdekaan dari manusia harus
dipenuhi selama tidak mengganggu kemerdekaan yang dimiliki oleh orang-orang
sekitar.
Pendidikan
yang tidak terikat oleh ruang-ruang hampa tentu harus berdasarkan kebudayaan
bangsa Indonesia yang majemuk. Hal ini sesuai dengan ungakapan Daoed Joesoef
“lembaga pendidikan sebagai pusat kebudayaan”. Itu artinya, pendidikan tidak
hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer
of knowledge) pada mata pelajaran yang konvensional. Akan tetapi lebih dari
itu, yaitu transfer nilai (transfer of
value). Dengan ungkapan tersebut, pendidikan baik formal maupun informal, bukan
hanya pada pembinaan kognitif, melainkan pengembangan aspek-aspek inteligensia
sosial, emosional, serta kinestetik
(Tilaar). Implikasinya adalah pada eksistensi budaya bangsa diera
globalisasi serta revolusi industri 4.0
dalam pembentukan kepribadian
dasar (basic personality) bangsa
Indonesia menjawab tantangan zaman kontemporer.
Pengaruh
globalisasi begitu signifikan serta masif dewasa ini, masuknya berbagai macam
produk ekonomi baik barang maupun jasa, tenaga kerja, dan kebudayaan asing bisa
jadi menggeser kebudayaan bangsa Indonesia secara perlahan. Hal ini tentu harus
disikapi dengan baik dan dicarikan solusi yang solutif menghadapi tantangan era
globalisasi. Konflik kebangsaan, agama, kelas, kemiskinan, dan diskriminasi
merupakan sederetan fakta dari ketidakpastian, bahkan ketidakberdayaan
pendidikan Indonesia dalam mentransformasikan nilai-nilai sosial pada kerangka
besar manusia Indonesia (Syaifudi). Ini artinya, terjadinya degradasi moral
yang sangat terstruktur dalam roh-roh bangsa saat ini. Sehingga perlu kemudian
hadirnya formulasi pendidikan yang berbasis kebudayaan bangsa sebagaimana yang
dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara meletakkan dasar pendidikan yang
berdasarkan kebudayaan, menjadikan indentitas bangsa Indonesia sebagai senjata
yang ampuh melawan kekuasaan penjajah. Artinya, identitas bangsa menjadi tameng
dalam mempertahankan serta merekonstruksi kembali budaya bangsa yang mulai
luntur.
Maka
tidaklah heran, jika Aristoteles dalam bukunya Politik mengungkapkan “untuk membuat para individu menjadi baik dan
bijak adalah membentuk sifat dasar, kebiasaan, dan akal”. Itu artinya ada
pencerahan serta pencerdasan diri sebagai penopang dalam menggerakkan roda kehidupan
bangsa kearah yang lebih progresif. Pendidikan yang berlandaskan kebudayaan
harus tetap digalakkan sehingga kesadaran akan pendidikan sebagai candradimuka
dalam rekonstruksi kebudayaan bangsa tetap eksis pada skala internasional.
Karena pada prinsipnya kehidupan kemanusiaan dan kecintaan kebudayaan nasional
idealnya diwujudkan dalam proses pendidikan (Ki Hajad Dewantara). Namun, wajah
pendidikan dewasa ini sangat buram sehingga memerlukan nutrisi serta vitamin
untuk bangkit kembali dalam menata kehidupan bangsa dan Negara yang berbudaya
tanpa adanya intervensi budaya-budaya asing.
Oleh
karena itu, pendidikan harus menjadi titik balik kebangkitan bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang majemuk dengan berbagai macam etnis, budaya, bahasa, agama,
serta adat istiadat. Kemerdekaan masing-masing orang dalam mendapatkan
pendidikan harus diberikan secara penuh selama tidak menentang kemerdekaan
orang lain serta melanggar norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial.
Karena pada hakekatnya manusia merupakan makhluk pembelajar, belajar melalui
diri sendiri serta lingkungan sekitar. Ki Hajar Dewantara mengungkapkan manusia
pembelajar adalah manusia yang dapat membahagiakan diri, membahagiakan bangsa,
dan membahagiakan sesama manusia. Sehingga konsekuensi logisnya adalah
terwujudnya bangsa yang berkarakter dan berbudaya.
Komentar
Posting Komentar