Foto: Penulis Izul Islamudin |
Dinamika
era revolusi industri 4.0 tentu menuntut kita sebagai kaum akademisi,
organisatoris harus hadir dalam ruang-ruang berdialektika kemudian
mengejawantahkan dalam kehidupan bersosial. Ruang berdialektika yang tidak
terikat oleh ruang-ruang hampa, ada gagasan dan ide konstruktif tidak hanya
kita pahami secara tekstualnya, akan tetapi bagaimana kontekstualnya. Dalam
kaitannya denga pendidikan islam, pendidikan yang penginternalisasikan
nilai-nilai islam harus menjadi pilar utama dalam
pembentukan manusia yang cerdas secara spiritual, intelektual dan emosional
serta berkarakter. Menjadi manusia yang cerdas serta berkarakter tidak kemudian
semudah yang dipikirkan. Akan tetapi, harus melalui pendidikan secara kontinu
yaitu melalui pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat (Ki Hajar
Dewantara).
Karena
pada prinsispnya, hakikat pendidikan berbicara tentang konfigurasi manusia
sebagai subjek. Sehingga kemudian manusia sebagai implementator sekaligus
penerima pendidikan harus memiliki kompotensi-kompetensi "pedagogik,
kepribadian, sosial, dan emosional" yang mumpuni dalam mengejawantahkan
nilai-nilai islam dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, dalam menyikapi
iklim globalisasi, westernisasi hal yang esensial yaitu
menginternalisasikan nilai-nilai
keislaman tanpa mengenyampingkan kearifan lokal (lokal wisdom) bangsa Indonesia
lewat “Pendidikan”. Mengutip yang disampaikan John Dewey seorang filsuf Amerika
Serikat “melihat pendidikan sebagai proses sosial yang membantu anak dalam
menggunakan kemampuan-kemampuannya sendiri demi mencapai tujuan sosial”
Kehidupan bersosial menunjukkan
frekuensi naik turun, di mana hal ini terjadi berbagai aktivitas sosial,
ekonomi, politik, budaya, serta pendidikan. Berbagai aktivitas yang dilakukan
oleh manusia menunjukkan berbagai macam kontak secara fisik maupun non fisik,
tendensi interaksi sosial yang terjadi baik itu hal-hal yang memang dalam dunia
nyata maupun dunia maya menjadikan berbagai virus ketergantungan pada teknologi
informasi. Dengan berbagai kecanggihan teknologi informasi apapun yang
diinginkan dapat diperoleh, dengan adanya teknologi yang digenggam apapun yang
diinginkan, makanan, fassion serta ingin pergi kemana-mana bisa melalui
perantara teknologi.
Kehadiran pendidikan yang
menginternalisasikan nilai-nilai islam era kontemporer merupakan langkah yang
harus dibumikan kembali dan perlu kemudian dilakukan secara intensif ditengah
terjadinya degradasi moral generasi saat ini, hal ini dilakukan tentu tidak
terlepas dari dampak negatif perkembangan teknologi yang kapan saja, siapa saja
menyerangnya seketika. Sehingga implikasi dari hal itu akan berdampak pada tatanan
kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupaa bermasyarakat terdapat berbagai macam
pemikiran, karakter, egoisme serta kepentingan masing-masing pribadi dan
kelompok yang tentu kemudian adanya kemungkinan terjadinya cheos. Meminjam
istilahnya Hegel dalam bukunya Syaifudin, pada dasarnya dalam tubuh masyarakat
pastilah ada ruang kekacaubalauan dan kekerasan.
Sehingga dengan adanya hal itu, tentu
keimanan serta ketakwaan terhadap sang pencipta menjadi kunci dalam menciptakan
iklim yang kondusif dalam kehidupan bermasayarakat diera yang dipenuhi dengan
kecanggihan teknologi informasi. Kekacauan, kekerasan, narkoba, miras,
pornografi dan berbagai macam hal yang berbau negatif harus dihindari dan bila
perlu dimusnahkan sampai keakarnya. Hal ini perlu adanya kolaborasi dari
tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, lembaga pendidikan, lembaga-lembaga
pemerintahan serta keluarga dalam megawal proses perkembangan generasi dalam
mengarungi dinamika realitas sosial.
#Penulisan di atas masih jauh dari kata sempurna, penulis memohon kritikan dan masukan yang membangun dalam perbaikan karya baik saat ini atau yang akan datang. Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar