Langsung ke konten utama

Falsafah Kalembo Ade dalam Perspektif Sosiologi: (Tinjauan Masyarakat Mbojo)

Foto: Penulis, Izul Monta

Kehidupan bersosial dalam masyarakat tidak terlepas dari berbagai macam dinamika, baik yang memiliki muatan nilai-nilai positif maupun negatif. Hal ini tentu kemudian tidak terlepas dari berbagai ragam karakter masing-masing individu yang berada dalam kelompok masyarakat. Dalam masyarakat Mbojo (Bima) pada khususnya dinamika-dinamika dalam kehidupan bersosial tidak terlepas dari muatan nilai-nilai falsafah yang kemudian menjadi pegangan hidup serta diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu falsafah yang terlahir dari Rahim neneng moyang masyarakat Mbojo (Bima), ungkapan yang disampaikan dari mulut ke mulut kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Bima sampai dengan saat ini adalah ungkapan “kalembo ade”. Ungkapan kalembo ade merupakan ungkapan yang unik serta produktif dan dapat digunakan dalam berbagai konteks. Ungkapan ini yang sering kemudian disampaikan sebagai suntikan suplemen dalam menyejukkan kehidupan bersosial. Ungkapan kalembo ade merupakan frasa yang melekat dalam proses interaksi sosial, interaksi yang dibangun atas dasar bagaimana hubungan antara individu yang satu dengan individu lain dalam menciptakan keharmonisan. Dinamika yang terjadi tidak terlepas bagaimana perspektif sosiologi dalam memahami secara tekstual serta kontekstual falsafah kalembo ade.
Ungkapan kalembo ade merupakan ungkapan yang begitu lazim dalam kehidupan bersosial dalam wilayah dana mbojo dan pada umumnya wilayah Bima dan Dompu. Ungkapan ini biasanya dilontarkan ketika merasa empati dan kemudian melihat seseorang kesusahan dan kita tidak mampu membantunya, ungkapan ini juga biasanya mengugkapkan perasaan maaf pada seseorang. Selain dari hal ini masih banyak lagi yang mencerminkan ungkapan kalembo ade. Dalam Kamus Bima-Indonesia-Inggris yang disusun Tim LP2KS, penyuntingnya Prof. Dr. Syamsuddin AR, MS dan Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Kalembo (memperlebar), Ade (hati, bagian dalam, di dalam, ingin, (harap) sabar). Sehingga, ungkapan kalembo ade memiliki makna yang berubah-ubah sesuai dengan kata obyek yang dituju. Semisal, ketika menjamu tamu dengan hidangan yang serba lengkap, tentu saja ada ungkapan kalembo ade yang dilontarkan. Padahal menu yang disediakan serba lengkap. Menurut hemat penulis inilah ungkapan yang mengakar serta melekat dalam jati diri dou Mbojo (orang Bima). Ungkapan inilah yang kemudian menjadi salah satu menunjukkan karakteristik, ciri khas dou Mbojo (orang Bima) yang tentu menunjukkan keramahan serta terbuka dalam menerima maupun menjamu tamu.
Dinamika kehidupan dalam masyarakat Bima tidak terlepas dari keramahan serta santun dalam tutur kata maupun perbuatan, walaupun tidak bisa dipungkiri juga ada kata maupun perbuatan melenceng yang kemudian tidak sesuai dengan kearifan lokal dou Mbojo, hal ini terjadi karena adanya realitas sosial. Menurut Syaifudin dalam bukunya Tan Malaka: Merajut Masyarakat dan Pendidikan Indonesia yang Sosialistis, menjelaskan realitas sosial merupakan hal yang pasti dan nyata dalam kehidupan masyrakat. Hal ini terjadi akibat terjadinya dinamika sosial di masyarakat, dinamika sosial yang dimaksud baik dalam hal ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan lain sebagainya. Sehingga tendesnsinya pada hal-hal yang berbau negatif dan mengedepankan egosentris. Ini menjadikan cikal bakal yang menyebabkan turbulensi dalam tatanan kehidupan masyarakat Bima yang dapat kemudian menggeser secara perlahan karakteristik serta ciri khas dou Mbojo (orang Bima) yang ramah, santun dengan ungkapan kalembo ade yang dilontarkan setiap saat.
Sementara itu, dalam  perspektif sosiologi menurut hemat penulis, terjadinya interaksi sosial berkenaan dengan ungkapan kalembo ade yang dilontarkan setiap saat baik dalam menjamu tamu ataupun aktivitas lain merupakan konsekuensi logis dari terjadinya interaksi yang dilakukan individu satu dengan yang lain dalam masyarakat. Senada dengan Hassan Shadly menambahkan, “sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai kehidupan itu”. Sedangkan secara dialektis Anthony Giddens di dalam Syaifudin memaparkan, “sosiologi menyediakan informasi tentang kehidupan sosial yang dapat memberikan sejenis kontrol di atas institusi-institusi sosial, sebagaimana institusi ilmu fisika menyediakan bidang alam. Sehingga, secara sederhana berbicara sosiologi tentu kemudian mempelajari masyarakat secara keseluruhan beserta relasi yang ada di dalamnya. Seorang filsuf Perancis Auguste Comte sebagi “bapak sosiologi” mengatakan, sosiologi merupakan ratu dari ilmu-ilmu sosial. Ini artinya, begitu tendensinya sosiologi ada relasi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti sejarah, politik, ekonomi, hokum, geografi, antropologi, dan ilmu-ilmu eksak, seperti matematika, fisika, kimia dan biologi. Akan tetapi, penjelasan ini akan kembali pada real pebahasan.
Dalam perkembangan masyarakat kontemporer, interaksi sosial yang harmonis serta kaya akan substansi mulai tergeser secara perlahan. Hal ini kemudian tidak terlepasnya dari arus globlisasi serta westernisasi yang kemudian secara perlahan menggeser paradigma masyarakat yang awalnya mengedepankan keramahan, terbuka serta satun dalam bertutur serta perbuatan mencerminkan nilai-nilai yang diwariskan turun temurun dari neneng moyang dou Mbojo (orang Bima). Ini kemudian menunjukkan terjadinya perubahan sosial yang tidak bisa di pungkiri dan begitu signifikan dalam tatanan masyarakat. Mengutip yang disampaikan Jacques Lacan di dalam Lacan, Discourse and Sosial Change (1993) mengemukakan bahwa perubahan sosial di dalam masyarakat dapat dimulai dengan perubahan pada tingkat psikis (psychological change), khususnya perubahan pada tingkat hasrat yang menjadi fondasi bagi langkah-langkah perubahan sosial selanjutnya.
Sehingga, dalam menyongsong iklim arus globalisasi serta westernisasi sebagai filter terjadinya perubahan perilaku masyarakat, harus adanya kesadaran personal maupun kesadaran kolektif, pola pikir yang konstruktif hal-hal positif, adanya interaksi yang harmonis lewat saling menyapa satu sama lain, saling perduli satu sama lain, serta mengedepankan tata karma dengan mengejawantahkan nilai-nilai yang diwariskan para leluruh atau neneng moyang baik dalam tutur kata maupun perbuatan. Yasraf Amir Piliang seorang filsuf, pemikir kebudayaan, akademisi, dan pengamat sosial asal Indonesia mengemukakan tiga tingkat perubahan masyarakat. Pertama, perubahan pada tingkat psikis, Kedua, perubahan pada tingkat wacana, dan ketiga, perubahan pada tingkat sosial. Ketiga tingkatan ini menjadi modal yang begitu signifikan dalam mengedukasi masyarakat.


#Penulisan di atas masih jauh dari kata sempurna, penulis memohon kritikan dan masukan yang membangun dalam perbaikan karya baik saat ini atau yang akan datang. Terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Pendidikan Karakter dalam Menyongsong Abad 21

Foto: Penulis Pendidikan menjadi sentral utama dalam membentuk individu yang mampu menjawab tantangan zaman era kontemporer. Pendidikan tidak hanya tendensi pada proses transfer ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge ), akan tetapi bagaimana penyelarasan transfer ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge ) dengan transfer nilai ( transfer of   value ) dalam menciptakan individu yang cerdas secara spiritual, intelektual, serta emosional. Individu yang memiliki perilaku yang baik, cakap, mandiri, bertanggung jawab, berakhlak mulia serta mampu mengendalikan diri di tengah kehidupan sehari-hari. Sebagaimana fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang pada Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas Bab 2 pasal 3, yaitu: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan berta

ESSAY: Dampak Perkembangan Teknologi pada Pembelajaran Daring di Tengah Pandemi 19 (Perspektif Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget)

Ilustrasi: kecanggihan teknologi (dok. suara.com) Oleh: Izul Islamudin, M.Pd. Dinamika proses pembelajaran merupakan interaksi yang dilakukan antara peserta didik dan pendidik dalam membentuk peserta didik yang cerdas secara spiritual, intelektual, dan emosional. Wabah covid 19 yang menimpa dunia internasional menjadikan dinamika kehidupan dunia bergeser dari yang konvensional beralih ke digital. Dalam konteks pandemi covid 19 yang terjadi di Indonesia dewasa ini memakan korban jiwa, di terapkan social distancing , proses pembelajaran daring (online). Hal inilah problem yang perlu disikapi dalam kehidupan dewasa ini. Dalam proses pembelajaran yang semulanya dilakukan secara konvensional, kini dilakukan secara daring (online) karena kondisi yang tidak memungkinkan. Pembelajaran daring inilah yang kemudian dijadikan sebagai alternatif dalam mengatasi keberlanjutan proses pembelajaran. Akan tetapi, dalam proses pembelajaran daring tentu memiliki permasalahan, baik itu permasalahan pad

Pendidikan Anti Korupsi: “Tinjauan NTB Memberantas Korupsi”

Foto: Penulis Izul Islamudin Nusa Tenggara Barat tidaklah hadir begitu saja dengan sendirinya. Munculnya nama Nusa Tenggara Barat yang menjadi bagian dari salah satu Provinsi Indonesia memiliki histori tersendiri yang harus dipelajari seksama oleh masyarakat lokal atau lebih khusus generasi-generasi yang kemudian menjadi tongkat estafet dalam pembangunan NTB ke depannya. Berbicara soal historis tentu harus berdasarkan pada sumber yang benar-benar dipercaya akan kebenarannya. Dalam ( baver007.com/provinsi-nusa-tenggara-barat/ ) menjelaskan “Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sunda Kecil yang beribukota di Singaraja. Kemudia, wilayah Provinsi Sunda Kecil dibagi menjadi tiga Provinsi yaitu: Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur”. Sehingga, saat ini nama “Nusa Tenggara” digunakan untuk menamakan dua Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)   dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Nusa Tenggara Barat memiliki dua wilayah kekuasaan yang s