Langsung ke konten utama

Pendidikan dalam Pusaran "Diskriminasi"

Foto: Penulis


Kata pendidikan tidak asing lagi atau bahkan sering diperbincangkan dan secara sadar dipraktekkan setiap hari. Secara sadar proses pendidikan terjadi dalam lingkungan keluarga  yang paling utama. Karena pada prinsipnya proses pendidikan sudah melekat dalam tiga lingkungan pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat (Ki Hajar Dewantara). Ketiga komponen inilah yang menjadi pondasi vital untuk mengawal serta membentuk pertumbuhan dan perkembangan setiap individu. Bukan pendidikan yang menindas, atau pendidikan sistem  “gaya bank” yang dimana ruang gerak bagi para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan (Paulo Freire). Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang humanis, pendidikan yang memberikan ruang gerak terhadap murid untuk mengeksplorasi serta mengedepankan bakat dan minat dalam menjawab tantangan revolusi industri 4.0 saat ini.
Era revolusi industri 4.0 menunjukkan bahwa begitu dinamisnya perkembangan zaman. Dengan perkembangan zaman di era modern setiap individu harus terus meng upgrade diri dengan meningkatkan kualitas, baik itu soft skill maupun hard skill. Tidak hanya cerdas secara spiritual, emosial serta intelektual tanpa ada nilai-nilai yang fundamental dalam diri yaitu nilai moral. Hal ini tentu tercermin dalam diri seseorang untuk menunjukkan eksistensinya sebagai manusia secara utuh (insan kamil) dalam kehidupan bersosial. Pentingnya hal ini agar tidak terjadinya diskriminasi dalam lembaga pendidikan. Lembaga yang dimaksud itu baik lembaga Pendidikan tingkat PAUD, SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi (PT).
Terjadinya diskriminasi tentu bukan hal yang diinginkan oleh setiap orang, karena pada dasarnya setiap orang berada dalam sebuah payung perdamaian untuk menjaga harmonisasi serta toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sesuai dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” walaupun berbeda-beda tapi satu jua. Makna dari semboyan ini tentu sudah menjadi pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berbagai macam keragaman suku, budaya, bahasa, agama, adat istiadat. Dengan keberagaman ini menjadikan Indonesia kaya akan keberagamannya.
Ironinya, perbedaan itu bukan lagi dipandang sebagai hal yang indah dalam tubuh Bangsa yang majemuk ini, melainkan menjadi sasaran empuk bagi segelintir  orang untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Julia Kristeva di dalam “Stangers to Ourselves” (1991) mengatakan kita menciptakan berbagai pihak yang sebetulnya tidak asing menjadi sang asing. Menciptakan sekat antara satu sama lain dengan dalil “perbedaan”. Sehingga, dalam kehidupan bersosial dalam lembaga pendidikan tentu ada hal-hal yang sifatnya diskriminasi antar satu sama lain, baik di tingkat Sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas maupun perguruan tinggi.
Bukan hal yang harus ditutup-tutupi lagi terkait kasus-kasus diskriminasi dalam dunia pendidikan, hal ini tentu menunjukkan bahwa roh kolonial masih melekat dalam raga, sehingga terjadinya degradasi moral  era kontemporer. Hal itu timbul karena hasrat yang saling melecehkan, mengolok atau bahkan memarginalkan satu sama lain  dalam kehidupan bersosial “lingkup pendidikan”.
Menyikapi hal itu tentu melalui pendidikan yang efektif dan efisien. Pendidikan yang dimaksud bukan hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan akan tetap transfer nilai-nilai dalam pembentukan karakter mulai sejak dini. Pembentukan karakter harus menyentuh kesadaran nurani. Perbaikan karakter perlu memasukkan nilai-nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama dan harus menyentuh kesadaran nurani (Yusuf). Sedangkan dalam membangun karakter  Thomas Lickona (1991) menitikberatkan tiga komponen penting karakter yang baik yaitu, pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral, dan perbuatan moral. Sehingga, melalui hal ini hadir generasi-generasi yang berkarakter. Generasi yang dimaksud merupakan generasi milenial yang slalu mengedepankan toleransi dan menunjukan sikap empati.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekonstruksi Pendidikan Karakter dalam Menyongsong Abad 21

Foto: Penulis Pendidikan menjadi sentral utama dalam membentuk individu yang mampu menjawab tantangan zaman era kontemporer. Pendidikan tidak hanya tendensi pada proses transfer ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge ), akan tetapi bagaimana penyelarasan transfer ilmu pengetahuan ( transfer of knowledge ) dengan transfer nilai ( transfer of   value ) dalam menciptakan individu yang cerdas secara spiritual, intelektual, serta emosional. Individu yang memiliki perilaku yang baik, cakap, mandiri, bertanggung jawab, berakhlak mulia serta mampu mengendalikan diri di tengah kehidupan sehari-hari. Sebagaimana fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang pada Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas Bab 2 pasal 3, yaitu: Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan b...

PARADIGMA PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DALAM MEMBENTUK GENERASI EMAS ABAD 21

Foto: Penulis PARADIGMA PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 DALAM MEMBENTUK GENERASI EMAS ABAD 21 Izul Islamudin* *Mahasiswa Pascasarjana Dikdas UM Email :   izulhibersat1996@gmail.com Abstrak Pendidikan merupakan alat untuk memutus rantai pembodohan. Karena pendidikan harus hadir sebagai candradimuka dalam membentuk generasi yang cerdas secara intelektual, emosional, serta spiritual. Pendidikan yang efektif serta efisien tentu tidak terlepas dari kebijakan serta muatan-muatan nilai-nilai kearifan lokal. Karena berbicara pendidikan sangat kompleks dan tentu dalam mengarungi bahtera samudera ilmu pengetahuan dan arus globalisasi, pendidikan harus mampu berenang dengan membawa muatan nilai-nilai kearifan lokal ( lokal   wisdom ). Sehingga, di era revolusi industri 4.0 pendidikan berbasis kearifan lokal menjadi filter serta payung dalam mengarungi iklim arus revolusi industri 4.0 dalam menyongsong pembentukan generasi emas Abad...

Cahaya Pendidikan untuk Anak Negri

Pendidikan adalah pondasi dari suatu bangsa, bangsa yang besar akan dilihat tingkat pendidikannya, seperti apa pendidikan dan bagaimana  output dari  hasil pendidikan tersebut. Pendidikan mutlak untuk semua orang, karena sudah tertuang dalam pasal 31 ayat 1 yang berbunyi "setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Tapi apa kenyataannya, masih ada anak-anak yang belum beruntung seperti anak-anak ini yang merasakan betapa indahnya memakai seragam dan duduk dibangku sekolah. Pendidikan, pendidikan, dan pendidikan, satu kata inilah yang memiliki makna yang menyentuh, yaitu memanusiakan manusia. Dengan adanya pendidikan manusia dapat memahami eksitensi ia hidup dimuka bumi ini untuk apa.