![]() |
Foto: Penulis |
Pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia, pendidikan tidak hanya berkaitan dengan transformasi ilmu
pengetahuan. Akan tetapi, pendidikan juga berkaitan dengan transformasi nilai
serta membentuk karakter yang dididik. Pendidikan tidak hanya kerkaitan dengan
lingkup formal, melainkan non formal. Manusia akan menjadi manusia jika berada
diantara manusia yang lainnya (Immanuel Kant). Keberadaan manusia “individu”
yang satu ini akan dianggap sebagai manusia secara utuh jika berada dalam
lingkungan sosialnya. Sehingga, sudah menjadi hak bagi setiap orang mendapatkan
pendidikan sebagaimana mestinya. Hal ini tentu dipertegas dalam UU BAB XIII
Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 1 “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”.
Hal itu tentu bertolak
belakang dengan lokal wisdom
(kearifan lokal) dari masing-masing daerah. Karena permasalah ekonomi yang
menjadi hal yang sangat fundamental bagi setiap orang untuk melanjutkan
pendidikan. Lembaga Pendidikan serta sarana prasaran yang layak tentu
didambakan oleh setiap anak untuk menunjang proses pembelajarannya, akan tetapi
dengan berbagai problem yang tidak memungkinkan baik itu kondisi geografis
maupun ketidak setaranya sarana dan prasaran antar lembaga pendidikan yang ada
diperkotaan mupun pedesaan itu sendiri. Hal itu tidaklah menjadi alasan untuk
tidak menjalankan proses pembelajaran. Pendidikan merupakan proses pembudayaan
(Tilaar). Pendidikan yang efektif dan efisien tentu tidak hanya menjadi sentral
adalah lingkungan sekolah, melainkan yang menjadi payung serta fondasi utama
dalam pembentukan karakter anak adalah lingkungan keluarga, kemudian
dilanjutkan dalam lingkungan sekolah serta sosial masyarakat itu sendiri. Hal
ini seperti yang sudah dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara “yang
meliputi keluarga (al-usratu),
sekolah (al-madrasatu), dan
masyarakat (al-mujtama’).
Perkembangan tekhnologi
informasi saat ini membuat kita terlena dengan berbagai macam kecanggihannya,
hal iu tentu bukanlah hal yang harus dihindari melainkan bagaimana cara kita
menyikapi persoalan itu. Era revolusi industri 4.0, era yang penuh dengan
digitalisasi. Tentu hal ini menuntut kita terus meng upgrade diri untuk lebih
siap menghadapinya. Yasraf Amir Piliang dalam sebuah jurnal yang ditulisnya
“masyarakat informasi dan digital” memaparkan kecanggihan tekhnologi informasi
menciptakan sebuah ruang baru yang bersifat artifisial dan maya yaitu
“Cyberspace”. Hal ini sudah mengalihkan berbagai aktivitas manusia era
milenial. Dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, tentu hal ini bukan
menjadi hambatan dalam pendekatan kearifan lokal (local
wisdom) dalam dunia pendidikan.
Kearifan lokal merupakan
sesuatu hal yang melekat dalam suatu daerah ataupun wilayah memiliki
nilai-nilai yang berkaitan dalam suatu masyarakat. Kearifan
lokal bagian dari konstruksi budaya, kearifan lokal mengacu pada berbagai
kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang
dikenal, dipercaya dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal
kohesi sosial diantara warga masyarakat (Masita). Berangkat dari hal ini tentu
diharapkan mampu membentuk karakter anak serta tetap menjaga kearifan lokal
dari suatu daerah untuk menyikapi era revolusi industri 4.0.
Rentetan
kasus yang terjadi di Kabupaten Bima contohnya. Mulai dari perkelahian, sampai
dengan tindakan yang memang tidak sepantasnya menjadi tontonan di dunia maya
sangat ironi. Terlepas dari kasus-kasus itu tentu masih ada kasus-kasus lagi
yang belum diketahui. Hal ini tentu menjadi tamparan keras bagi kita semua
dalam mengawal serta mendidik generasi-genrasi ke depannya. Berangkat dari
problem-problem itulah tiga komponen penting dalam pendidikan seperti yang
dijelaskan Ki Hajar Dewantaran, lingkungan keluarga, sekolah, serta masyarakat
harus mampu saling kolaborasi dalam proses pendidikan. Hal ini tentu
membutuhkan waktu yang continu, karena
saling menyalahkan elemen satu sama lainnya tentu tidak menawarkan solusi yang
solutif.
Komentar
Posting Komentar