Foto : Penulis |
Indonesia
merupakan Negara kepulauan yang membentang dari sabang sampai merauke. Negara
yang memiliki berbagai ragam
suku,
budaya,
bahasa, agama adat istiadat, sehingga Indonesia di kenal sebagai Negara yang
kaya akan keragamannya. Dibalik itu semua terdapat sisi kelemahan yang menyebabkan
disintegrasi Bangsa yang majemuk
yaitu sifat “intoleran”. Intoleransi
rentan terjadi di berbagai daerah, baik persoalan, agama, budaya,
bahasa, suku,
atau yang lebih eksplisit lagi terkait
dengan kondisi “fisikly”.
Contoh kasus yang menyita
berbagai macam sorotan mata baik di Indonesia maupun di Negara-Negara lain
yaitu kasus yang terjadi
di Surabaya, kasus itu meyebabkan kemarahan
dari suku yang tertuju. Begitu sensitifnya
kata-kata yang disampaikan jika tidak difilter. Hal ini menunjukkan bahwa masih
krisisnya jiwa sosial humanis yang melekat dalam diri. Dalam menyikapi hal itu membutuhkan kedekatan bukan
hanya secara fisikly, melainkan secara emosial, sehingga memunculkan sifat empati,
tenggang rasa, toleransi dan tidak saling memarginalkan
satu sama lain. Nah, toleransi inilah yang harus selalu di ke depankan tanpa
memandang kelompok. Immanuel Kant seorang filosof
tersohor Jerman
mengatakan
“manusia akan menjadi manusia jika berada diantara manusia yang lain”.
Peristiwa
yang terjadi bulan lalu bukan hanya itu saja, akan tetapi masih banyak
kasus-kasus yang tidak tereksplor
oleh media. Hal ini membuktikan bahwa media-media sudah di bungkam dan semangat
pergerakan mulai luntur secara perlahan. Sehingga , keadaan Bangsa Indonesia
saat ini dalam keadaan tidakstabil. Menurut Michel Seres di dalam Genesis
(1995) dalam buku Yasraf Amir Piliang “Hantu-Hantu
Politik dan Matinya Sosial” turbulensi adalah sebuah keadaan antara, sebuah
tapal batas: antara keadaan kacau dan tidak teratur, antara kepastian dan ketidakpastian,
antara keadaan teramalkan dan tak teramalkan. Pernyataan Michel Serec diatas
menunjukkan bahwa keadaan Bangsa Indonesia era kontemporer menunjukkan
ketidakberaturan,
kacau (chaos). Hal itu tentu menuntut kita agar lebih peka dalam
menyikapi persoalan-persoalan yang seperti ini, karena konsekuensi logis dari
kehidupan berbangsa dan bernegara akan dikatakan harmonis jika terpenuhinya
kenyamanan, keterbukaan satu sama lain serta toleransi.
Menurut
Yasraf Amir Piliang turbulensi sosial adalah keadaan yang ditandai oleh
ketidakstabilan (disorde) dan
keacakan (randomness)
pergerakan sosial di dalam
setiap skala. Pendapat ini masih mempertegas kondisi Bangsa Indonesia saat ini
dalam keadaan tidak baik-baik saja, baik secara personalia atau bahkan secara
kelompok. Ironinya,
diskriminasi ini bukan hanya terjadi tahun ini, akan tetapi tahun
sebelumnya atau bahkan masih ada kasus-kasus diskriminasi yang lainnya. Hal ini tidak sesuai dengan apa
yang dituangkan dalam semboyan Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Hal itulah sebenarnya yang harus dipegang teguh dalam
keragaman Bangsa Indonesia, perbedaan bukan dijadikan sebagai api yang
memunculkan konflik, melainkan semangat membara menciptakan keharmonisan.
Semangat
Nasionalisme seakan-akan luntur secara perlahan dengan berbagai dinamika diatas
tubuh Bangsa yang majemuk. Kehidupan sosial yang humanis seolah-olah hanya
narasi romantisme belaka tanpa diejahwantahkan dalam kehidupan nyata. Pada prinsipnya
kehidupan sosial humanis harus
tendensi pada
memanusiakan manusia, saling menghargai satu sama lain tanpa membedakan agama,
bahasa, suku,
warna kulit dan sebagainya. Terjadinya diskriminasi antar satu sama lain, dan kelompok menunjukkan
bahwa moral generasi-generasi Bangsa ini masih melekat dengan sifat kolonialisme. Dalam
menyikapi hal itu tentu ada tiga komponen karakter yang baik menurut
Thomas Lickona (1992) yaitu, pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral,
dan perbuatan moral.
Rentetan uraian di atas
menurut hemat penulis dapat ditarik benang merahnya bahwa, kehidupan bernegara
akan tentram, damai, harmonis jika tendensi
pada sifatnya toleransi, tenggang rasa, empati. Tidak memandang kelompok suku,
budaya, bahasa, agama, serta adat istiadat. Hal itu tentu tidak terlepas dari
proses pendidikan, pendidikan yang humanis yang memuat nilai-nilai yang berguna
dalam menopang kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berbagai macam
keragamannya.
#Penyusunan kata-kata di atas masih jauh dari kata sempurna, penulis memohon kritikan dan masukan yang membangun dalam perbaikan karya baik saat ini atau yang akan datang. Trimakasih.
#Penyusunan kata-kata di atas masih jauh dari kata sempurna, penulis memohon kritikan dan masukan yang membangun dalam perbaikan karya baik saat ini atau yang akan datang. Trimakasih.
Komentar
Posting Komentar