Foto: Penulis |
Sepandai-pandainya
setiap insan menafsirkan cinta, setulus-tulusnya setiap insan memberikan cinta
kepada insan yang lain, cinta yang diberikan itu akan terputus ketika
dihadapkan dengan berbagai macam permasalahan. Permasalah yang tidak terlepas
dalam kehidupan setiap insan manapun. Tapi, cinta dari sang pencipta tidak
pernah terputus terhadap hambanya. Maha pengasih serta maha penyayangnya ketika
hambanya mengingat maupun melupakannya. Ketika berbicara pencipta dan yang
dicipta, tentu berbicara bagaimana hubungan manusia dengan pencipta (vertikal) serta hubungan manusia yang
satu dengan yang lain (horizontal).
Setiap
insan dikodratkan untuk saling melengkapi satu sama lain yaitu lewat yang
namanya “cinta”, kata suci yang terkadang ditafsirkan berbeda oleh pelaku cinta
dan dipraktekan secara telanjang tidak sebagaimana mestinya. Cinta slalu
menawarkan alur cerita indah ketika dimaknai dan praktekkan sebagaimana
mestinya. Sama halnya seperti pisau dapur, akan menghasilkan masakan yang lezat
ketika dipergunakan oleh orang yang pandai dalam memasak. Dan terkadang cinta
juga bisa menjadi pisau yang mematikan ketika digunakan oleh orang yang baru
belajar memasak. Hanya energi positif yang dihasilkan oleh kata suci “cinta” bukan
sebaliknya. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat
(Buya Hamka).
Ketika
dilihat dari kacamata yang sedikit seksi, cinta dalam bingkai pendidikan sangat
bertolak belakang dengan esensi cinta. Berbicara masalah pendidikan tidak asing
lagi oleh kaum awam dan terlebih kaum akademisi. Pendidikan merupakan proses
memanusiakan manusia, dalam artian dengan memperoleh pendidikan manusia akan
memahami akan dirinya baik sebagai individu maupun makhluk yang bersosial.
Immanuel Kant filosof tersohor Jerman mengatakan “manusia akan menjadi manusia
jika berada diantara manusia yang lain”. Tapi, fakta yang terjadi di lapangan
masih saja ada segelintir orang yang belum mendapatkan pendidikan sebagaimana
yang diamanahi oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan”.
Hal
diatas sudah jelas ditegaskan, semacam ada pelaku yang tidak benar-benar paham
dan sadar akan tugas dan fungsinya ketika menjalankan apa yang sudah disumpah
dan diikrarkan. Pendidikan hanya diperuntukan bagi orang-orang yang mampu,
sedangkan orang yang tidak mampu hanya menjadi penonton bahkan merelakan diri menjadi
pengemis, pencuri, serta menjadi lebih dari itu sekalipun. Fenomena sosial atas
egosentris masing-masing individu memperkaya diri yang menjadikan individu lain
tidak memiliki cara lain selain mengedepankan hawa nafsu birahinya. Dalam teori
perubahan sosial, teori konflik (conflict
theory) berpandangan bahwa pertentangan kelas antara kelompok tertindas dan
kelompok penguasa sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini
berkiblat pada pemikiran Karl Marx, Karl Marx menyebutkan bahwa konflik kelas
sosial merupakan sumber yang paling penting dan berpengaruh dalam semua
perubahan sosial.
Sejatinya,
dengan adanya konflik sosial akan menimbulkan gerakan-gerakan, kritikan, serta
saran yang mengarah pada tertatanya dan meratanya pendidikan. Pendidikan yang
layak serta menjadikan manusia tahu secara utuh akan dirinya serta mampu menjalani
hidupnya dengan baik dengan perkembangan zaman diera modern. Akan menjadikan
individu-individu rugi jika tidak berpendidikan, dan bahkan dalam kehidupan
akan stagnan tidak dinamis. Manusia yang rugi adalah
manusia yang tidak memiliki perubahan (Saidina Ali).
Dengan
perkembangan tekhnologi kontemporer, akan menyadarkan masing-masing orang dalam
menyikapi berbagai macam permasalahan sosial, terutama masalah pendidikan.
Karena sentral dalam membangun Bangsa yang maju terletak pada SDM nya, ketika
Sumber Daya Manusia (SDM) memiliki kecerdasar secara spiritual, emosional, dan
intelektual akan menjadi pondasi awal untuk bersaing dengan Negara-Negara maju
lainnya.
Komentar
Posting Komentar